Mengelola Perkawinan Kambing
MENGELOLA
PERKAWINAN KAMBING
(Oleh :
Simon P Ginting)
Birahi Pada Induk
Perkawinan pada induk kambing hanya dapat terjadi dalam masa
birahi yang berlangsung selama 12-48 jam, sangat bervariasi antar induk.
Ovulasi (pelepasan sel telur) terjadi 12-36 jam setelah birahi muncul, dan saat
kawin paling tepat adalah setelah ovulasi berlangsung. Oleh karena itu, pada
sistem perkawinan yang dilakukan secara terkontrol yaitu setiap individu induk
telah diprogramkan atau ditetapkan untk dikawinkan dengan pejantan terseseleksi
tertentu, maka apabila pada seekor induk birahi muncul pada pagi hari sebaiknya
induk dikawinkan pada sore harinya, atau bila birahi timbul pada sore hari
induk sebaiknya dikawinkan pada keesokan paginya.
Pada sistem perkawinan kelompok dimana pejantan disatukan dalam kelompok betina, perkawinan dapat terjadi setiap saat, terutama 12-15 jam setelah tanda birahi muncul (setelah ovulasi). Perlu diingat bahwa masa hidup sel telur berkisar antara 12-24 jam, sedangkan masa hidup sperma didalam saluran reproduksi induk antara 24-48 jam. Oleh karena itu, terdapat waktu yang cukup panjang agar pembuahan sel telur oleh sperma dapat berlangsung dengan baik. Siklus birahi atau selang waktu antara dua birahi pada induk kambing berlangsung selama 18-22 hari.
Pada sistem perkawinan kelompok dimana pejantan disatukan dalam kelompok betina, perkawinan dapat terjadi setiap saat, terutama 12-15 jam setelah tanda birahi muncul (setelah ovulasi). Perlu diingat bahwa masa hidup sel telur berkisar antara 12-24 jam, sedangkan masa hidup sperma didalam saluran reproduksi induk antara 24-48 jam. Oleh karena itu, terdapat waktu yang cukup panjang agar pembuahan sel telur oleh sperma dapat berlangsung dengan baik. Siklus birahi atau selang waktu antara dua birahi pada induk kambing berlangsung selama 18-22 hari.
Banyak tanda-tanda yang dapat diamati
yang menunjukan timbulnya birahi pada seekor induk kambing. Menjelang masa
birahi (pro-estrus) ternak lain sering mencoba menaiki induk, namun biasanya
induk menunjukan reaksi penolakan. Namun, bila telah memasuki periode estrus
(birahi) reasksi nduk biasanya tidak menolak, bila dinaiki oleh ternak lain
dalam kelompoknya. Induk juga biasanya mengeluarkan suara yang khas seolah
kelaparan atau kesakitan dan menggerakan ekor secara konsisten. Pada kebanyak
induk organ vulva mengalami pembengkakan dan berwarna kemerahan. Beberapa induk
sering mengeluarkan cairan dari vulva yang awalnya bening, namun berubah
menjadi kental dan berwarna putih pada saat memasuki masa akhir birahi.
Frekuensi urinasi (mengeluarkan air seni) akan meningkat dan bermaksud untuk
menarik perhatian pejantan. Jika terdapat induk yang dalam masa birahi,
pejantan biasanya menunjukan ‘rekasi Flehmen’ yaitu gerakan dengan
menggulung/memutar kebelakng bibir bagian atas sambil mengangkat kepala dan
mendengus. Reaksi ini umum terjadi pada binatang berkuku sebagai Respon
terhadap aroma khas yang berasal dari urin betina yang dalam masa birahi.
Pengamatan berulang/beberapa kali dalam
sehari perlu dilakukan oleh peternak untuk memastikan apakah induk dalam masa
birahi atau tidak. Hal ini penting artinya untuk meningkatkan efisiensi
reproduksi induk kambing. Jika terdapat induk atau beberapa induk yang tidak
menunjukan gejala birahi yang jelas, maka dapat digunakan pejantan untuk memicu
timbulnya birahi. Sebaiknya digunakan pejantan dewasa yang memiliki aroma khas.
Umumnya, birahi yang timbul pada seekor induk dalam suatu kelompok setelah
dicampur dengan pejantan akan memicu timbulnya birahi pada induk lain.
Gambar
2. Induk yang sedang birahi menunjukan tanda yang khas dan akan menarik
perhatian pejantan sehingga memungkinkan perkawinan pada waktu yang tepat
Perkawinan
Pola perkawinan dalam produksi kambing
dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu pendekatan perkawian secara
individual atau perkawinan dengan pendekatan kelompok. Pada pola perkawinan
individual, maka seekor induk dikawinkan satu persatu dengan pejantan terpilih
yang telah ditetapkan sebagai pemacek. Pada pola perkawinan individual ini
pengamatan masa birahi oleh peternak perlu dilakukan secara cermat untuk
memastikan induk akan kawin pada saat yang paling optimal (setelah ovulasi).
Tingkat keberhasilan perkawinan induk dalam pola perkawinan individu ini sangat
dipengaruhi oleh kemampuan peternak dalam mendeteksi waktu birahi pada induk.
Oleh karena itu perlu melakukan pengamatan pada pagi dan sore hari. Biasanya
pejantan dibiarkan melakukan perkawinan paling tidak sebanyak 2 kali dalam
selang waktu setengah jam. Perkawinan yang baik/coitus biasanya ditandai dengan
gerakan induk yang menekan/menurunkan ekor dan bagian belakang tubuh kearah
bawah dengan kuat selama kira-kira 20 detik.
Pada pola perkawinan kelompok pejantan
terpilih dicampur dengan beberapa ekor induk dalam kurun waktu tertentu sampai
induk mengalami kebuntingan. Pejantan terpilih disarankan dicampur dengan
kelompok betina selama dua siklus birahi yaitu selama 42-45 hari dengan alasan
bahwa apabila pada siklus birahi pertama ternyata tidak terjadi perkawinan,
maka diharapkan pada siklus birahi kedua perkawinan tidak akan terlewatkan.
Dengan demikian, kepastian kebuntingan ternak lebih terjamin. Pola ini juga
dapat mempersempit rentang waktu melahirkan antara individu induk, sehingga
mendekati waktu beranank yang lebih seragam. Setelah memastikan bahwa induk
telah bunting (dapat diduga dari tidak munculnya tanda birahi pada induk), maka
pejantan disarankan dikeluarkan dari kandang induk. Pejantan yang terus
bercampur dengan induk dapat mengalami penurunan libido atau agresivitas
terhadap betina estrus. Dalam sistem perkawinan baik individual maupun
kelompok, rasio pajantan/induk dapat mencapai 1/20-30 apabila kondisi pejantan
sangat baik.
Dalam pola ini deteksi masa birahi dilakukan
oleh pejantan dan biasanya jarang yang terlewatkan. Deteksi birahi oleh
peternak dalam pola perkawinan kelompok tetap memiliki arti manajemen yang
penting untuk mengetahui atau memprediksi waktu melahirkan. Dengan demikian
manjemen yang terkait dengan masa kebuntingan dan waktu melahirkan dapat
dikelola dan dipersiapkan dengan lebih terencana.
Perkawinan
Induk Muda
Masa produktif seekor induk dimulai
saat terjadi perkawinan dengan pejantan yang subur. Penentuan umur kawin pada
induk muda sering menjadi pertimbangan dalam pengelolaan induk. Namun, umur
sebenarnya bukan satu-satunya faktor utama yang menentukan saat kawin yang
optimal pada induk muda. Faktor lain yang sangat penting adalah bobot tubuh.
Pada saat timbulnya birahi pertama kali pada induk muda, induk secara biologis
sudah mau menerima pejantan. Oleh karena itu pada prinsipnya induk muda dapat
dikawinkan pada umur 7 bulan saat tanda birahi pertama timbul. Namun sebaiknya
perkawinan ditunda sampai induk mencapaibobot tubuh tertentu. Direkomendasian
bahwa saat yang paling baik untuk pertama kawin adalah pada saat bobot tubuh
mencapai 70-75% dari potensi bobot dewasa tubuhnya. Ada pengalaman bahwa
perkawinan pertama kali induk muda pada bobot tubuh dan umur yang tidak optimal
berpotensi memiliki jumlah anak sekelahiran yang tunggal selama masa
produksinya. Perkawinan pertama pada umur muda atau bobot tidak optimal
berpotensi menyebabkan induk melahirkan anak dengan bobot tubuh yang rendah
pula atau induk tidak pernah mampu mencapai potensi bobot tubuhnya.
Besaran
bobot dewasa tubuh sangat tergantung kepada ras atau bangsa kambing. Oleh
karena bobot tubuh berhubungan erat dengan umur, maka rekomendasi umur kawin
pertama juga tergantung kepada bangsa kambing. Bangsa kambing dengan bobot
tubuh besar, seperti kambing Boer biasanya dikawinkan pada umur yang lebih tua
dibandingkan dengan bangsa kambing dengan ukuran tubuh kecil, seperti kambing
Kacang. Pada kambing Boer misalnya, induk biasanya dikawinkan pertama kali pada
umur 15 bulan atau lebih. Pada bangsa kambing Kacang induk muda biasanya
dikawinkan pada umur 8-9 bulan atau saat mencapai bobot tubuh sekitar 14-16 kg.
(Sumber
:Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih)